26
Apr
07

Duit BPD nyemplung di lubang SBI

Dibandingkan dengan pangsa pasar kelompok bank lain, Bank Pembangunan Daerah jauh lebih kinclong. Bukan hanya gemar menumpuk dana di Sertifikat Bank Indonesia, namun juga aset yang bertumbuh kian mencorong. Ujung tahun lalu, aset 26 BPD tercatat sebesar Rp 159,47 triliun, meroket dari tahun sebelumnya Rp 106,41 triliun. Akibatnya, pangsa pasar bank milik pemerintah daerah tersebut kini menjadi 9,41% dari hanya 7,24% akhir 2005.

Tapi aset ini tak serta merta stabil. Data yang dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan aset BPD bulan  Januari 2007 anjlok Rp 9 triliun. Kemudian pada bulan Februari naik sekitar Rp 5 triliun. Tentu saja, naik turunnya aset BPD itu menyumbang penurunan jumlah aset perbankan nasional. Upamanya, Januari lalu, aset perbankan nasional menurun sebesar Rp 3,3 triliun dari sebelumnya Rp 1.693,8 triliun menjadi Rp 1.690,5 triliun. Selain itu, pangsa pasarnya luruh sebesar 0,6% menjadi 8,8% dari total aset perbankan nasional 2006.
 
Bicara soal aset sama saja bicara soal kekayaan yang dimiliki oleh sebuah bank. Setiap BPD memiliki nilai aset yang berbeda. Upamanya BPD Sulut yang menggenggam Rp 1,9 triliun per Desember 2006. Patokannya, tahun ini bisa membukukan aset sekitar Rp 2,3 triliun. BPD Kalsel yang mengantongi aset Rp3 triliun per Desember 2006. Angka ini naik 84,95% tahun sebelumnya yang hanya dari Rp1 triliun.

Perolehan aset yang tak jauh berbeda juga dimiliki oleh BPD Kalbar. “Dengan total aset tahun 2006 mencapai Rp 2,9 triliun, kami mentargetkan naik 20%,” kata Jamaludin Malik, Dirut BPD Kalbar. Dua kali lipat aset milik BPD Kalsel itu itu dimiliki oleh BPD Papua yang membukukan aset Rp 7,7 triliun. Tak mau kalah, Dick Sulami, Dirut BPD Maluku bilang, “Aset milik BPD Maluku saat ini Rp 1,9 triliun. Dana untuk masyarakat sekitar Rp 1,3 triliun dan 70%nya merupakan dana yang dimiliki pemerintah daerah.”

Menilik angka aset yang cukup fantastis itu, Rp 159,47 triliun, mereka enjoy menggudangkan duitnya di SBI. Hitung punya hitung, ada sekitar Rp 43,11 triliun atau 33,3% dari jumlah DPK berkubang di instrumen moneter bank sentral hingga akhir 2006. Labanya memang tak kecil. Dari bunga SBI, belasan BPD memetik bunga sekitar Rp 4,8 triliun. Angka itu melesat ketimbang tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 1,5 triliun.
Betah dengan SBI

Sayangnya, total kredit yang dikucurkan oleh 26 BPD ini hanya naik 24,4%. Angka ini memang lebih tinggi daipada yang dihasilkan industri perbankan yang besarnya hanya 14,2%. Tapi harus dicatat, karena mayoritas dana pihak ketiga (DPK) —sekitar Rp 74 triliun (57,7%)—merupakan giro, wajar saja kalau peningkatan kredit bisa lebih tinggi lagi. Dus, menggemuknya kredit bisa menyurung pertumbuhan ekonomi daerah.

BPD Kalsel mentargetkan pertumbuhan kreditnya naik 25% atau Rp 1 triliun dibandingkan tahun lalu. Angka yang sama juga muncul dari BPD Papua.tahun lalu, bank ini menggaet dana pihak ketiga dalam bentuk giro, deposito dan tabungan sebesar Rp 6,1 triliun, sementara kredit yang disalurkan kepada masyarakat mencapai sebesar Rp 1,1 triliun.

BPD Sulut merencanakan pengucuran kredit tahun ini Rp 1,2 triliun. “Kami juga mendapat pendanaan yang besar, maka itu kami lempar ke kredit,” kata Alexius lembong, Dirut BPD Sulut. Dana itu diperoleh dari obligasi maupun DPK. Tahun lalu, DPK yang berhasil dihimpun mencapai Rp 1,4 triliun dan tahun ini ditargetkan mencapai Rp 1,8 triliun. “Outstanding hingga Maret lalu Rp 1,4 triliun,” imbuhnya.

Kalau bicara soal DPK, BPD Kalsel mentargetkan bakal naik sebesar 16,77% atau sekitar Rp 2,5 triliun tahun ini. DPK 2006 sebesar Rp 2,7 triliun, penyumbang terbesarnya datang dari pertumbuhan Giro sebesar 117,61%. Dana dari bank lokal ini disalurkan untuk kredit sebesar Rp 845 miliar. Perinciannya, untuk pembiayaan syariah sebesar 60,38 %, kredit modal kerja 34,97%, kredit investasi 31,62 % dan kredit konsumtif 24,94%.

Sama spektakulernya dengan BPD Kalsel, DPK BPD Jawa Barat juga naik 33,6%. Totalnya ada sekitar Rp 16,3 triliun. Kontribusi ini datang dari dana pemda yang cukup besar. Hanya saja, peningkatan dana itu tidak dimaksimalkan dalam bentuk kredit. Sebab, pinjaman yang diberikan hanya naik 16,7% menjadi Rp 11,7 triliun. Sebaliknya, uang justru digelontorkan manajemen ke instrumen SBI. Ada sekitar Rp 4,8 triliun dana milik BPD Jabar yang masuk ke SBI.

Lain dengan BPD Kaltim yang penerimaan dana lewat SBI justru merosot pada bulan Januari kemarin. Pada akhir 2006 sempat berada pada level Rp 6,2 triliun dan posisi akhir Januari 2007 sebesar Rp 5,1 triliun. Namun data terakhir per 26 Februari 2007, dana SBI BPD Kaltim hanya mencapai Rp 4,1 triliun. Konon, menciutnya SBI ini lantaran ada penarikan dari pemilik dana dan adanya pembatasan kuota yang ditetapkan Bank Indonesia.

Duit milik BPD Kalbar justru sangat kecil di SBI. “Nggak sampai Rp 100 miliar,” tukas Jamaludin Malik, Dirut BPD Kalbar. dengan rencana penyaluran kredit sebanyak Rp 1,25 triliun tahun ini. BPD Kalbar memiliki surat berharga senilai Rp 79 miliar dengan jangka waktu hingga 2010 dan 2012. Lantaran tidak terjadi transaksi surat berharga tahun laluu, maka dananya dialokasikan ke kredit yang tumbuhnya sekitar 25% per tahun.

Sumber lain yang bakal bisa digali oleh BPD adalah obligasi. Kini, BPD boleh bersiap-siap menyerap obligasi daerah. Soalnya, Bapepam-LK bakal menerbitkan peraturan mengenai penerbitan obligasi daerah. Draf aturan itu telah diedarkan ke semua biro di Bapepam-LK untuk mendapat persetujuan. Obligasi daerah ini lebih menarik daripada obligasi yang selama ini banyak diterbitkan oleh swasta. Soalnya, di sana ada jaminan dari Pemda. Itu sebabnya, Pemda pun harus diberi rating jika berniat menerbitkan obligasi.

Melalui rating tersebut, pasar akan bisa menyerap obligasi yang diterbitkan karena ada kejelasan prospek. Selain itu, proyek yang dikerjakan dengan obligasi pun harus mendapatkan rating. Nah, kalau sudah begini, pembeli obligasi mengetahui kondisi keuangan pemda serta prospek proyek yang dikerjakan. Efeknya pemda akan lebih tepat waktu menyelesaikan proyeknya, karena pemda harus juga membayar obligasi yang jatuh tempo.

Selama ini, SBI yang bersumber dari pihak ketiga dalam bentuk tabungan, giro hingga deposito, sumber terbesar yang diterima adalah dari pemerintah daerah. BPD masih mengandalkan instrumen SBI ini untuk menyerap kelebihan likuiditasnya, ketika sektor riil serta pembangunan infrastruktur di daerah belum banyak menyerap kredit. Nah, dengan terbitnya obligasi daerah ini, BPD memiliki alternatif penyaluran kelebihan likuiditas.
Meninggalkan aset bank BUMN

Menggemuknya aset BPD ini berbanding terbalik dengan aset bank BUMN. Per Februari 2007, total aset bank-bank BUMN merosot Rp 7,4 triliun dari bulan sebelumnya menjadi Rp 617,89 triliun. Bandingkan dengan aset BPD yang memang sempat merosot di bulan Januari, namun naik lagi di bulan Februari menjadi Rp 155,71 triliun.

Ada tiga komponen utama penyumbang aset bank BUMN ini. Yaitu, penyaluran kredit, surat berharga dan SBI. Nah, dari ketiga komponen ini, penyaluran kredit dan surat berharga naik lumayan di bulan Februari, dan SBI-nya merosot. Seiring dengan naiknya kredit ini, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank BUMN juga bergerak naik, dari Rp 30,2 triliun di bulan Januari menjadi Rp 31 triliun bulan Februari.

Beberapa bankir pelat merah mengaku tak risau ditinggal oleh bank-bank jenis lainnya, termasuk BPD. “Setelah akhir kuartal kedua setiap tahun aset akan naik lagi,” kata Sigit Pramono, Dirut Bank BNI. Rasa optimis juga muncul dari bank BRI. “Mulai April ini uang APBN sudah akan masuk, demikian juga hanya kredit akan kembali bergulir karena kontrak kerja pada masa itu sudah ada yang ditanda tangani,” kata Sofyan Basir, Dirut Bank BRI.

Kalau begitu, tinggal kita tunggu saja rapor dari BI.  


3 Responses to “Duit BPD nyemplung di lubang SBI”


  1. August 28, 2007 at 2:19 am

    Tolong di jawarkan
    karenabank Papua sedang menggodok sdm nys untuk mendukung operasional.

  2. 2 anton
    June 9, 2008 at 3:35 pm

    Wah Coba uang parkir tu buat bangun daerah!!
    Maju euy!!!!

  3. 3 M Wira Adibrata
    July 16, 2008 at 1:58 am

    Di beberapa tempat, kesiapan dari sektor riil untuk dibiayai masih minim. Bahkan ada salah satu dari lembaga UMKM di daerah Kalbar, tidak yakin binaannya mampu mengelola dana pinjaman. Selain itu, ketersediaan infratruktur untuk menunjang jalannya bisnis juga sangat minim. Menjadi tanggung jawab bersama baik oleh bank, instansi terkait dan UMKM sendiri untuk terus berbenah dan bersinergi dengan mengaplikasikan norma-norma profesionalitas.
    DPK nganggur di SBI = Tidak produkstif menggerakkan roda perekonomian. Apalagi dana-dana BPD yang nota bene banyak didominasi oleh dana Pemda. Secara kasat mata, ketika dana hanya ngendon di SBI, pemda lamban dalam merealisasikan anggarannya. Atau tidak produkstif!!?.


Leave a reply to anton Cancel reply


April 2007
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Archives

Flickr Photos